Pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلاَ تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَّحْسُورًا
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu, dan jangan pula kamu terlalu mengulurkannya; karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (Qs. al-Isra’: 29).
Ulama ahli tafsir al-Quran menjelaskan, bahwa pada ayat ini Allah Ta’ala mengajarkan manajemen belanja yang benar. Kita diajarkan agar menempuh hidup sederhana, tidak kikir dengan cara menyembunyikan kekayaan dan enggan untuk mengulurkan tangan kepada orang lain. Sebaliknya, kita juga tidak dibenarkan untuk boros dalam membelanjakan harta, sehingga kita besar pasak daripada tiang, yang mengakibatkan kita tercela dan dirundung penyesalan (Tafsir ath-Thabari, 10/250, Ahkamul Qur’an oleh al-Qurthuby, 3/191 dan Tafsir Ibnu Katsir, 2/76).
Pada ayat lain, Allah berfirman,
يَا بَنِي آدَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمْ عِندَ كُلِّ مَسْجِدٍ وكُلُواْ وَاشْرَبُواْ وَلاَ تُسْرِفُواْ إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak Adam, kenakanlah pakaianmu yang indah di setiap hendak memasuki masjid (hendak mendirikan shalat-pen.), makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs. al-A’raf: 31).
Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah Allah tunjuk untuk menjadi teladan bagi umatnya dalam mengamalkan syariat al-Quran, menekankan metode ini kepada umatnya, di antaranya dengan bersabda,
(كُلُوا وَاشْرَبُوا وَتَصَدَّقُوا وَالْبَسُوا مَا لَمْ يُخَالِطْ إِسْرَافٌ وَلاَ مَخِيلَةٌ. (رواه أحمد والترمذي والنسائي وحسنه الألباني
“Makan, minum, bersedekah dan berpakaianlah (sesukamu-pen.) selama engkau tidak berlaku israf (berlebih-lebihan) dan tidak pula berlaku sombong.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzy, an-Nasa’i dan dihasankan oleh al-Albani).
Kisah berikut adalah salah satu wujud nyata dari syariat ini:
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjalankan Haji Wada’ pada tahun 10 Hijriyah, beliau menjenguk sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas radhiallahu ‘anhu yang sedang menderita sakit parah. Tatkala sahabat Sa’ad menyaksikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berada di dekatnya, ia berkata, “Ya Rasulullah, sesungguhnya penyakitku sudah sedemikian parah, dan aku adalah orang kaya, sedangkan tiada yang mewarisiku (bila aku mati sekarang ini-pen.) selain putriku seorang diri. Layakkah bila aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?” Nabi menjawab, “Tidak.” Sahabat Sa’ad kembali berkata, “Bagaimana kalau aku sedekahkan separuhnya?” Beliau menjawab, “Tidak.” “Bagaimana bila sepertiganya?” Beliau menjawab, “Ya, sepertiganya, dan sebenarnya sepertiga itu sangat banyak. Sesungguhnya bila engkau meninggalkan ahli warismu dalam kecukupan, itu lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kekurangan, akibatnya mereka meminta-minta kepada orang lain. Dan tidaklah engkau menafkahkan suatu nafkah dengan tulus karena mengharap keridhaan Allah, melainkan engkau akan diberi pahala karenanya. Allah akan senantiasa memberimu pahala atas setiap nafkahmu, sampaipun atas makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu,” (HR. Imam Bukhary).
Al-Muwaffaq Abdul Latif al-Baghdady berkata, “Hadits ini merangkumkan seluruh simbol-simbol utama dalam metode merawat diri. Hadits ini juga mengajarkan tentang metode mengurus kemaslahatan jiwa dan raga, baik dalam kehidupan dunia ataupun akhirat. Sikap berlebih-lebihan dalam segala hal berdampak buruk bagi keselamatan raga dan harta benda. Berlebih-lebihan dapat menghancurkan harta kekayaan dan jiwa, karena biasanya jiwa manusia terpengaruh oleh kesehatan raga.
Adapun sifat sombong, maka dapat membahayakan jiwa, karena orang yang dijangkiti sifat ini biasanya berlaku angkuh. Dan akibat perilakunya yang angkuh, ia ditimpa siksa di akhirat dan selama hidup di dunia, ia dibenci oleh orang lain.” (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 10/253).
Bila kita memahami syariat ini, niscaya kita dapat memahami hikmah doa yang sering diucapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
(اللهم إني أَعُوذُ بِكَ من الْهَمِّ وَالْحَزَنِ وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ (رواه البخاري
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari rasa gundah, duka, lemah semangat, sifat malas, kikir, penakut, piutang yang memberatkan, dan dari penindasan orang lain.” (HR. al-Bukhary).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari kita untuk berlindung dari piutang yang memberatkan. Yang demikian itu, karena biasanya tidaklah seseorang terlilit oleh piutang, melainkan akibat dari kesalahannya dalam membelanjakan harta.
Dahulu ulama salaf berkata, “Tidaklah jiwa seseorang dirundung oleh rasa gundah, karena memikirkan piutang yang tidak kuasa ia bayar, melainkan perasaan itu menjadikannya tidak kuasa untuk berpikir dengan jernih.” (Fathul Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 11/174).
Penutup
Apa yang dipaparkan di atas hanyalah sekelumit kiat-kiat praktis untuk menumbuhkan keberkahan dalam rezeki kita. Walau demikian, berbagai kiat di atas bila kita amalkan, bukan hanya menumbuhkan keberkahan pada rezeki kita saja. Akan tetapi, kiat-kiat di atas akan menumbuh suburkan keberkahan dalam setiap derap langkah dan setiap denyut kehidupan kita.
Perlu diketahui, bahwa apa yang dipaparkan di atas, hanyalah setetes dari lautan, karena sebenarnya, masih banyak lagi amalan-amalan yang akan mendatangkan keberkahan dalam kehidupan seorang muslim. Semoga Allah Ta’ala senantiasa melimpahkan taufik dan keberkahan-Nya kepada kita semua. Semoga pemaparan singkat ini menjadi penggugah iman dan semangat kita untuk berjuang menggapai keberkahan dalam hidup. Dengan demikian, kita tidak menjadi budak dunia yang senantiasa dirundung duka dan derita akibat dari ambisi menumpuk harta kekayaan.
(تَعِسَ عبد الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ وَعَبْدُ الْخَمِيصَةِ إن أُعْطِيَ رضي وَإِنْ لم يُعْطَ سَخِطَ تَعِسَ وَانْتَكَسَ وإذا شِيكَ فلا انْتَقَشَ (رواه البخاري
“Semoga sengsara para pemuja dinar, dirham, dan baju sutra (pemuja harta kekayaan-pen.), bila ia diberi ia merasa senang, dan bila tidak diberi, ia menjadi benci, semoga ia menjadi sengsara dan semakin sengsara (bak jatuh tertimpa tangga), dan bila ia tertusuk duri, semoga tiada yang kuasa mencabut duri itu darinya.” (HR. Bukhari).
Semoga dengan sedikit pemaparan ini, kita dapat memiliki pandangan baru terhadap kehidupan dan kekayaan dunia, bukan hanya jumlah yang kita cari, akan tetapi keberkahana lebih utama.
Tak lupa, pada akhir tulisan ini, saya mohon maaf atas segala kesalahan, dan itu datangnya dari setan dan kebodohan diri saya, dan saya ber-istighfar kepada Allah. Apabila ada kebenaran, maka itu semua adalah taufik dan ‘inayah-Nya, maka hanya Dia-lah yang layak untuk dipuja. Wallahu a’alam bis shawaab.
Referensi:
Al-Qur’an al-Karim
Jami’ul Bayan Fi Tafsir al-Qur’an, oleh Imam Muhammad bin Jarir ath-Thabari.
Ahkamul Qur’an, oleh Abu Bakar al-Jashash al-Hanafy.
Ahkam al-Qur’an, oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i.
Ma’alimut Tanziil, oleh al-Baghawi asy-Syafi’i.
Ahkam al-Qur’an, oleh Imam Muhammad bin Ahmad al-Qurthubi.
Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, oleh Imam Ismail bin Katsir ad-Dimasyqy.
Taisir al-Karim ar-Rahman, oleh Syaikh Abdurrahman as-Sa’dy.
Adwa’ul Bayan, oleh Muhammad Amiin asy-Syinqithy.
Shahih al-Bukhary, oleh Imam Muhammad bin Ismail al-Bukhary.
Shahih Muslim, oleh Imam Muslim bin al-Hajjaj an-Naisabury.
Sunan Abu Dawud, oleh Imam Sulaiman bin Asy’ats Abu Dawud as-Sajistany.
Sunan at-Tirmidzy, oleh Imam Muhammad bin ‘Isa at-Tirmidzy.
Sunan an-Nasa’i, oleh Imam Ahmad bin Syu’aib an-Nasa’i.
As-Sunan al-Kubra, oleh Imam Ahmad bin Al Husain al-Baihaqy.
Sunan Ibnu Majah, oleh Muhammad bin Yazid al-Quzwainy.
Al-Musnad, oleh Imam Ahmad bin Hambal asy-Syaibany.
Fathul Bari, oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.
Taisirul Azizil Hamid, oleh Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab
Lisanul Arab, oleh Ibnul Manzhur al-Afriqy.
Al-Misbaah al-Munir, oleh Ahmad bin Muhammad al-Fayyumy.
Al-Qamuus al-Muhith, oleh Muhammad bin Ya’qub al-Fairuzabady.
Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi’i.
Al-Jawaabul Kafi, oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
Zaadul Ma’ad, oleh Ibnul Qayyim al-Jauziyyah.
Adhwaa’ul Bayan, oleh Syaikh Muhammad bin Amin asy-Syinqithy.
Faidhul Qadir, oleh al-Munaawy.
Ar-Risaalah oleh Imam asy-Syafi’i.
Syarah Shahih Imam al-Bukhary, oleh Ibnu Batthal al-Maliky.
Aunul Ma’buud, oleh Syamsul Haq al-‘Azhim Abady.
Barakatur Riziq, oleh Dr. Abdullah Marhul as-Sawalimah.
Artikel www.PengusahaMuslim.com